Rabu, 06 Januari 2016

KEUNIKAN STASIUN KOTA BARU MALANG



Siapa yang tak mengenal Stasiun Kota Baru Malang. Letaknya di jantung kota, membuatnya sering dilewati banyak orang. Termasuk para wisatawan yang berkunjung ke Malang. Tempat ini menjadi awal dimulainya penjelajahan.

Tetapi, siapa yang tahu cerita dan sejarah yang menyelimuti stasiun ini. Termasuk jalan penghubung antar jalur kereta dengan pintu masuk dan keluar stasiun.


Stasiun Kota Baru Malang atau yang dikenal Sasiun Malang bukan merupakan tempat pemberhentian pertama dan tertua di Malang kota. Tahun pembuatannya masih lebih muda dari pada Stasiun Kota Lama Malang yang terletak di Kecamatan Sukun. Jika Stasiun Kota Lama didirikan tahun 1879, Stasiun Kota Baru 51 tahun setelahnya. Tepatnya tahun 1941, stasiun rancangan J. Van Der Eb ini mulai pembangunannya.

Saat pertama kali difungsikan, letak bangunannya tidak seperti sekarang. Melainkan berada di sisi Timur rel kereta. Tetapi masih di daerah yang sama. Ini bertujuan agar supaya para penumpang yang melewati stasiun ini, melihat keindahan alam Malang. Mata mereka dimanjakan dengan pemandangan Gunung Panderman di sebelah Barat.



Penumpang memang bisa langsung melihat keindahan Gunung Panderman. Berbeda dengan sekarang. Banyaknya gedung menyembunyikan gunung tersebut. Pada zaman kolonial Belanda, dari Kota malang gunung yang berada di Batu ini tidak terhalang bangunan sama sekali. Terlihat begitu gagah dan hijau.

Perubahan letak bangunan stasiun kemudian terjadi ketika masa pendudukan Jepang. Gedung stasiun berpindah ke sebelah barat seperti posisi saat ini. Hal itu lebih dikarenakan bangunan lama stasiun sudah tidak mampu lagi menampung penumpang. Sementara itu, bangunan stasiun yang lama kemudian difungsikan sebagai gudang dan Dipo lokomotif.

Perpindahan ini selanjutnya menjadikan stasiun Kota Baru Malang memiliki karakteristik sendiri. Yang memedakan dengan stasiun di Kota lain, tempat pemberhentian kereta ini memiliki terowongan. Jalur-jalur di Stasiun Kota Baru dihubungkan dengan jalan bawah tanah. Jadi begitu penumpang datang di jalur kereta dua atau tiga. Mereka harus memalui terowongan jika ingin keluar stasiun ini.
Penumpang yang akan keluar setasiun, berjalan menuju ke lorong bawah tanah
Menurut cerita masyarakat, terowongan ini dahulunya berfungsi sebagai tempat persembunyian saat terjadi perang kemerdekaan. Dalam kata lain, stasiun ini mirip sebagai bunker ketika itu. Karena berada di bawah tanah.

Selain itu, konon katanya, ada sebuah jalan bawah tanah yang menghubungkan antara stasiun dengan objek vital seperti balaikota dan komplek sekolahan yang ada di depan tugu Malang. Tetapi kebenaran berita tersebut masih diragukan oleh banyak orang. hal itu terjadi karena belum ada pembuktian. Serta banyak arsip yang hilang saat terjadinya peristiwa malang bumi hangus pada perang kemerdekaan.
Suasana lorong bawah tanah yang mirip banker
Sekarang stasiun ini menjadi salah satu objek foto bagi mereka para wisatawan. Meskipun dari luar terlihat tidak begitu besar. tetapi Stasiun Kota Baru tetap mempesona dengan kemegahan dengan ciri khas bangunan tuanya.

Rabu, 17 Desember 2014

BOWELE: GUGUSAN PANTAI DI PERBATASAN YANG MEMPESONA

         Bowele merupakan singkatan tiga pantai yaitu BOlu-bolu, WEdi awu. LEnggoksono. Sebenarnya dikawasan ini terdapat pantai yang mempesoan juga seperti Pantai Licin dan Pantai Banyu Anjlok. Pantai yang terletak di desa Purwodadi kecamatan Tirtoyudo ini bisa ditempu sekitar 3 jam perjalanan dari Kota Malang. Kecamatan Tirtoyudo merupakan kecamatan yang dekat dengan kabupaten Lumajang. Antara kecamatan Dampit dengan Kecamatan Ampelgading.
         Perjalanan menuju ke Bowele sangat mempesona. jalanan yang berliku dan melewati perbukitan ketika sudah masuk kecamatan Tirtoyudo menyajikan pemandangan yang sejuk. Mendekati bowele akan terlihat jelas dari atas jalan yang melalui bukit pemandangan gugusan pantai ini yang berbentuk teluk. Setelah melewati  perbukitan, traveller akan melalui jalanan menurun dan menemukan pertigaan antara pantai Sipelot dengan pantai Lenggoksono. Jika meneruskan perjalanan, makan traveleer akan menemukan pertigaan kembali antara pantai Wedi awu dengan pantai Lenggoksono.
         Pantai Wedi awu menyuguhkan pasir putih dengan beberapa kapal nelayan yang berada di bibir pantai. Disini traveller bisa mendirikan tenda untuk camping. Terdapat juga medan untuk offroad atau motor trail. Setelah puas dengan menikmati pantai Wedi awu, traveller bisa melanjutkan ke Pantai Lenggoksono. Jarak antara Wedi awu dengan pantai Lenggoksono sekitar 30 menit.

pantai lenggoksono
         Pantai Lenggoksono berada di dekat perkampungan nelayan, sehingga jalanan yang akan ditemui akan lumayan bagus. Pantai ini memiliki keindahan berupa pasir pantai bercampur dengan batuan. Di pantai Lenggoksono ini, traveller bisa menyewa perahu jungjung untuk berkeliling ke Pantai air terjun Banyu anjlok dan Bolu-bolu, serta berwisata snorkling. Pantai ini memiliki fasilitas campground serta kamar mandi yang telah dikelola oleh warga. Fasilitas berupa persewaan alat snorkle dan life jaket juga tersedia disini. Namun sayang, untuk camera under sea belum tersedia disini. Dari pantai Lenggoksono, pengunjung akan bisa melanjutkan menuju Pantai Banyu anjlok.
pemandangan dari atas bukit
        Pantai Banyu anjlok ini bisa ditempuh dengan jalan kaki atau naik motor atau menyewa perahu. Akses jalan menuju pantai ini kecil, hanya cukup dilewati satu motor. Jalanan yang naik dan turun curam serta berada diatas tebing, membuat pengendara motor harus ekstra hati-hati. Lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki, Pantai Air terjun Banyu anjlok ini bisa ditempuh sekitar 1,5 jam. Tidak begitu disarankan mengendarai motor apabila baru pertama kali mengunjunginya. Perjalanan menuju pantai ini akan disuguhkan dengan pemandangan yang menawan, yaitu pantai Lenggoksono dilihat dari atas tebing. Sesampainya di pantai ini, traveller akan disuguhkan aliran air terjun yang berair tawar. Akses untuk turun menuju pantai ini hanya satu jika melewati jalur darat, yaitu melewati air terjun yang memiliki tinggi kurang lebih 7 meter ini.
Air terjun banyu anjlok
     

         Dari Panti Air terjun Banyu anjlok, jika traveller ingin melanjutkan menuju ke Pantai Bolu-bolu lebih disarankan untuk menyewa perahu jungjung  yang telah disediakan di Pantai Lenggoksono. Perjalanan akan terasa sangat jauh karena aksesnya yang masih sulit. Namun perahu yang disewakan akan beroperasi jika ombak tidak terlalu tinggi, kesalamatan menjadi prioritas. Didepan bagian pantai ini terhampar karang seluas kurang lebih 2 hektar dan memiliki perairan yang tenang, cocok untuk kegiatan snorkling. Namun ketika melakukan kegiatan snorkle, yang perlu diwaspadai adalah ubur-ubur. Pastikan bahwa saat traveller berkunjung dan ingin snorkle tidak pada musim ubur-ubur.
      Lupakan sejenak Pulau Sempu, karna masih banyak pantai lain di Kabupaten Malang yang eksotis.

Rabu, 23 Juli 2014

TARI TOPENG MALANG YANG MULAI TERGERUS ZAMAN

Malang merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki cukup banyak warisan sejarah, salah satunya adalah kesenian sendra tari wayang topeng. Seperti halnya di daerah lain, wayang topeng malangan merupakan pertunjukan sendra tari dengan pelaku-pelaku bertopeng dan diiringi oleh gamelan. Dalam pertunjukannya sebagian besar bercerita tentang Panji. Murgiyanto & Munardi (1979/1980:16) menyatakan bahwa wayang topeng Malang menunjukkan ciri-ciri sub kultur Jawa Timuran. Dari gaya tari, dialog, tata busana, gending-gending pengiring dan bahkan dalam embat gamelan pelognya yang berlaras “sendaren” atau “sundari”. Murgiyanto (1982/1983:54) juga menjelaskan bahwa di daerah Malang dan Madura, wayang topeng memiliki penutup kepala (irah-irahan) yang dibuat mirip busana kepala wayang wong Jawa, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Barat penari topeng mengenakan tekes atau sobrah, yaitu busana kepala khas topeng yang terbuat dari rambut berbentuk pipih melintang di bagian atasnya dengan hiasan untaian bunga panjang yang tergantung di bagian kiri dan kanan di atas telinga.
Adapun yang pembeda yang sekaligus menjadi ciri khas sebagai wayang topeng Malangan adalah pada embrio atau awal munculnya kesenian ini. Berdasarkan penuturan Ki Soleh Adi Pramono seorang seniman wayang topeng pada Padepokan Mangun Dharma di Tumpang, menyebutkan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman kerajaan Kanjuruhan di bawah Raja Gajayana (760 M) di Malang. Topeng awalnya merupakan simbol atau pemujaan raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Simha. Berawal dari upacara pemujaan arwah yang bersifat magis-religius ini, kemudian berkembang menjadi kesenian rakyat. Pada masa kepemimpinan Wisnuwardhana di Singhasari, topeng digunakan pada drama tari wayang wwang dengan menampilkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Namun, terjadi perubahan ketika masa Kertanegara (1190-1214 Saka atau 1268-1298 M) yang ingin mengangkat kisah-kisah dari leluhur kerajaan di Jawa Timur sendiri, hingga tercipta lakon Panji pada pertunjukan wayang topeng dan dikenal hingga ke luar nusantara. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada masa Majapahit, serta masa penyebaran Islam oleh para wali.
Pada masa-masa kerajaan, kesenian wayang topeng hanya berperan sebagai kesenian yang dikhususkan bagi kalangan kerajaan saja. perkembangannya kesenian ini menjadi kesenian tradisional rakyat. Meredupnya peran keraton dalam masyarakat yang digantikan sistem penjajahan Belanda, menyebabkan terjadinya perubahan pada tatanan masyarakat, termasuk hidup matinya kesenian tradisional yang dikembangkan oleh keraton. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian ini kemudian dikembangkan kembali oleh tokoh bernama Mbah Reni dari Polowijen. Melalui Mbah Reni dan murid-murid inilah kemudian kesenian wayang topeng mulai menyebar ke berbagai wilayah di bagian timur seperti Jabung dan Tumpang, serta bagian selatan seperti Kedungmonggo dan Sumberpucung. Hal tersebut terdapat dalam data warisan budaya tak benda kabupaten Malang tahun 2010.
Tari Topeng Malangan berkembang pesat pada era 1950-1960. Kebijakan pemerintah yang menekan arus masuk budaya barat, membuat kesenian tradisional muncul dan bersinar. Itensitas pertunjukan dan antusias masyarakat dalam pertunjukan semakin meningkat. Pasca peristiwa 30 September 1965, Tari Topeng Malangan mengalami periode meredup. Peristiwa poitik yang mendera negeri sedikit banyak juga mempengaruhi keberlangsungan Tari Topeng Malangan selain kondisi keuangan yang naik turun. . Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan di Kedungmonggo, Jabung, dan daerah Tumpang yang masih bertahan.
Secara umum di era tahun 1970an, hampir semua kesenian wayang topeng Malangan mengalami perkembangan yang baik. Hal ini bisa dilihat dari keikutsertaan wayang topeng Malangan dalam berbagai festival kesenian yang diadakan dalam rangka mengembangkan kembali kesenian yang meredup di era sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, kesenian wayang topeng Malangan mendapat perhatian besar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. Pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-27 tahun 1972, menampilkan kesenian wayang topeng Malangan. Di Malang pada tahun 1975, Bupati Suwignyo membuka peluang tari massal topeng Malang yang diikuti oleh 500 siswa Malang. Hal ini pula yang kemudian meningkatkan dukungan pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya melestarikan kesenian yang ada. Adapun di tahun 1978, wayang topeng Malangan diikutkan dalam festival kesenian nasional di Jakarta dan Yogyakarta. Salah satu bentuk perhatian pemerintah adalah dengan memperbaiki atau membangun sarana dan prasarana dalam menyokong kelestarian kesenian wayang topeng Malangan. Pembangunan sarana dan prasarana di antaranya adalah pembangunan Padepokan Asmoro Bangun di Kedungmonggo, kecamatan Pakisaji pada tahun 1982. 

Daftar Pustaka:
Disbudpar Kabupaten Malang. 2010. Data Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten MaLang tahun 2010. Malang : Disbudpar. 
Kotamadya Malang. 1969. Kotamadya Malang Lima Puluh Tahun. Malang : Panitia Peringatan HUT ke 55 Kotamadya Malang.
Kusmayanti, A. M. H, dkk. 2002. Indonesia Heritage : Seni Pertunjukan. Jakarta :
Murgiyanto, S.M. 1982/1983. Pewarisan dan Pembinaan Kebudayaan Indonesia. Majalah Analisis Kebudayaan, III (2):52-62.
Murgiyanto, S.M & Munardi, A. M. 1979/1980. Topeng Malang : Pertunjukan Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta : Proyek Sasana Budaya Depdikbud.


*) Disunting dari artikel: Wayang Topeng Malangan Era Tahun 1959-1978 oleh "Woro Windarti"

Rabu, 14 Mei 2014

PANTAI NGELIYEP & RATU PANTAI SELATAN

Berada di Selatan Kota Malang, tepatnya kurang lebih 64 km dari Kota Malang. Terletak di Kecamatan Donomulyo, kabupaten Malang, Pantai ini memiliki perpaduan antara pasir putih dengan air yang jernih dan ombak yang besar. Namun setiap kali traveller datang, pasti akan disarankan untuk berenang di pantai sebelah timur dan dihimbau untuk tidak berenang di Pantai Pasir Panjang.

Sebelah timur???, Ngeliyep bertipikal pantai dengan dikombinasikan dengan karang dan tebing. Sehingga jangan berharap Ngeliyep memiliki garis pantai yang panjang, Namun memilliki pantai yang terpisah oleh tebing. Pantai yang biasa dipakai sebagai tempat wisata bermain air adalah pantai yang berada disebelah timur dari pantai pasir panjang yang berombak besar. Pantai di Sebelah timur berbentuk teluk kecil, sehingga ombak yang masuk tidak begitu besar. Namun jangan berharap untuk berenang jika air pasang, karena tidak bersahabat.

Sunset view juga lumayan jika dilihat dari gunung kombang. Gunung Kombang, menurut kepercayaan masyarakat merupakan tempat ritual mistis yang menghubungkan dengan Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan.


 Seperti halnya Pantai Parangtritis di Jogja, Pantai Ngeliyep masih kental dengan Nyi Roro Kidul dengan ombak ganasnya. Maka dari itu setiap tanggal 14 bulan Maulud, terdapat ritual labuhan. Labuhan merupakan ritual upacara tradisional Jawa dengan menyertakan sesaji yang berisi beraneka ragam hasil bumi. Labuhan bertujuan untuk menghindarkan suatu wilayah dari mara bahaya.\

Labuhan sesaji ini konon dilakukan sejak 1913, ketika itu menyebar suatu wabah penyakit menular yang biasa disebut Pagebluk di Desa Kedungsalam yang berada didekat pantai Ngeliyep. Sesepuh desa bernama Mbah Atun mendapat mimpi untuk melakukan upacara labuhan di pantai agar terhindar dari pagebluk. Maka, sejak itu upacara labuhan diselenggara setiap tanggal 14 bulan Mulud, dengan menyertakan larung kepala kambing/sapi untuk sesaji. Ketika upacara labuhan, akan dilakukan iring-iringan sesaji dari desa menuju pantai dengan di damping reog sebagai kesenian tradisional (pesonamalangraya.com).


Lupakan sejenak P.Sempu, mari melirik pantai ngeliyep. karena pantai ini tidak kalah bagus dengan pantai yang lain dan pastinya memiliki akses jalan yang bagus menuju pantai ini.

Sabtu, 28 Desember 2013

KESENIAN BANTENGAN

Pertunjukan Bantengan saat acara Bersih desa
di desa Wonorejo Kecamatan Lawang
Bantengan merupakan kesenian yang memadukan antara pencak silat dengan pertunjukan menangkap banteng yang sedang mengamuk. Seperti halnya kesenian jaranan, bantengan juga diiringi oleh musik gamelan khas serta kental akan mistis. Pemain pemakai topeng bantengan (terdiri dari 2 orang) biasanya kemasukan roh setelah dibacakan mantra.

Melacak tempat lahir kesenian bantengan ini sangat susah, karena tidak ada catatan resmi dan bukti yang valid untuk ditelusuri. Namun diperkirakan kesenian ini ada sejak zaman kerajaan Singhasari. Salah satu bukti adalah relief pada Candi Singhasari. Meskipun ada perbedaan bentuk antara zaman Singhasari dengan zaman sekarang. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada tahun 1960-an, ketika zaman Orde Lama. Setiap perayaan kemerdekaan selalu diadakan pawai dan pertunjukan Bantengan beserta tarian Liang-liong, selamatan desa serta acara-acara rakyat seperti ulang tahun hari jadi kota. 

Namun kesenian bantengan ini mengalami penurunan peminat. Seakan mati suri, kemudian kesenian ini menjadi populer kembali pada saat ini (setelah reformasi). Seiring dengan pupoler kembali kesenian ini, saling klaim sebagai wilayah tempat kelahiran kesenian bantengan terjadi. Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto dengan Kota Batu menjadi dua daerah yang mengakui bahwa kesenian bantengan merupakan kesenian yang lahir dari wilayah mereka. Tidak ada catatan secara pasti kesenian dari mana kesenian ini lahir menjadi kelemahan untuk melacak asal-usul kesenian bantengan berasal. Terlepas dari manakah kesenian ini berasal, melahirkan sisi positif bahwa kini dikedua daerah tersebut melaksanakan upaya pelestarian dengan menggelar gebyar bantengan.

Kesenian bantengan ini berkembang pesat di daerah lereng gunung Arjuno, yaitu wilayah Kecamatan Lawang (Kab. Malang), Kota Batu, Kecamatan Pacet (Kab. Mojokerto) dan Lereng Semeru yaitu Kecamatan Tumpang (Malang) serta daerah pinggiran Kota Malang. Hampir setiap hajatan atau acara rakyat, bantengan hadir untuk menjadi hiburan yang seru.

Pemain Gamelan
Pemain bantengan terdiri dari 10 hingga 30 orang. Dalam suatu pementasan, pemain terbagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, pemain musik yaitu : penabuh gending atau Jidor atau musik gamelan (kendang, kenong dan Gong) serta sinden juga pengrawit. Kedua, pendekar yang mengendalikan banteng. Ketiga, sesepuh yang dituakan, mempunyai kelebihan untuk memanggil roh Dahyangan untuk masuk kedalam tubuh pemain banteng dan mengeluarkannya. Keempat, pendekar pemegang pecut yang bertugas untuk mengendalikan kendali kelompok dengan membawa campuk. Kelima, pemeran bantengan yang masing-masing banteng terdiri dari 2 orang.


Kostum bantengan biasanya terdiri dari tanduk (kepala sapi, kerbau, banteng dan lain-lain), topeng kepala banteng yang terbuat dari kayu dengan cat dan ukiran, mahkota banteng berupa sulur wayangan terbuat dari kulit atau kertas, kelontong (alat bunyi di leher), badan banteng terbuat dari rotan berbentuk rotan dan tertutup oleh kain hitam lengkap dengan ekornya. Biasanya kaki banteng merupakan kaki 2orang pemain yang memakai celana hitam.


Pendekar yang sedang menaklukan banteng
Rangkaian acara bantengan yang didokumentasikan dari acara bersih desa di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang. Pertama adalah dibuka dengan seorang sesepuh yang memiliki kemampuan untuk memanggil Dahyangan dengan membaca mantra-mantra. Kemudian dilanjutkan dengan 2 orang pendekar yang beradu ilmu. Selanjutnya, sang pemegang cambuk mulai menggoda banteng yang telah diperankan 2 orang yang telah kemasukan roh Dahyangan hingga banteng mengamuk. Setelah Banteng mengamuk, pendekar yang bertugas sebagai pawang berusaha menaklukkan banteng yang telah mengamuk. Ke dua pemeran banteng yang telas kemasukan roh kemudian disadarkan oleh sesepuh. Selanjutnya, dua orang pendekar menunjukkan atraksi berupa adu kekebalan.

Demikian ringkasan mengenai kebudayaan bantengan malang disalahsatu daerah ketika ada hajatan rakyat berupa bersih desa, semoga bermanfaat.