Sabtu, 27 Oktober 2012

ALUN-ALUN TUGU MALANG: RIWAYATMU


Siapa tak tahu alun-alun Tugu atau alun-alun bunder ketika mengunjungi Kota Malang yang letaknya tak jauh dari stasiun kota baru Malang. Alun-alun dengan sebuah tugu ditengahnya sebagai simbol kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan pusat pemerintahan Kota Malang, dimana di sisi selatan terdapat kantor Balaikota. Keberadaan alun-alun bunder membuat Kota Malang memiliki dua alun-alun disamping alun-alun lama yang berada dikawasan pendopo Kabupaten Malang.
Malang merupakan satu-satunya kota di Jawa yang memiliki dua alun-alun sebagai tempat berkumpul masyarakat. Setiap kota di Pulau Jawa memiliki alun-alun sebagai pusat beraktifitas masyarakat, termasuk kantor pemerintahan. Hal tersebut merupakan ciri dari kota tradisional di Jawa. Begitu juga dengan Malang sebelum menjadi kotapraja, Malang memiliki satu alun-alun yang sekarang berada di depan kantor Bupati Malang.
Pada abad 18, Malang masih merupakan kawasan pedalaman Jawa. Seiring berjalan waktu dan semakin padatnya daerah pesisir, kemudian banyak Bangsa Belanda yang berdatangan menuju Malang dan mendirikan pemukiman. Kondisi geografis Malang yang dikelilingi pegunungan dan memiliki udara sejuk menjadikan kawasan yang enak untuk ditempati. Banyaknya Bangsa Belanda yang berdatangan, sehingga kemudian menuntut kepada pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan status Malang menjadi kotapraja. Sehingga pada 1 April 1914, surat ketetapan Gubernur Hindia Belanda keluar yang mengubah status Malang menjadi Gemeente (kotapraja) (Handinoto & Soehargo, 1996:1).
Status kotapraja yang disandang Malang, tidak membuat Malang langsung memiliki walikota. Namun untuk sementara, walikota dijabat oleh residen Malang. Tahun 1919 Kota Malang baru memiliki walikota yang dilantik tanggal 1 Juli. Nama walikota pertama Malang adalah H.I. Bussemaker yang menjabat sejak tahun 1919-1929 (Handinoto & Soehargo, 1996:66). Seiring dengan meningkatnya status Malang menjadi kotapraja, maka dibutuhkan kantor pemerintahan baru. Bangsa Belanda yang menduduki kursi pemerintahan menuntut di bangunnya pusat pemerintah Kota Malang yang baru, tidak menjadi satu di kawasan alun-alun yang lama. Bangsa Belanda memandang alun-alun lama merupakan simbol dari Bumiputra. Alun-alun yang lama sebagai pusat aktifitas masyarakat dianggap kumuh dan tak beraturan. Bangsa Belanda menuntut terbentuknya pusat pemerintaha baru sebagai pusat kegiatan orang Eropa, bukan sebagai pusat kegiatan orang Bumiputra (Basundoro, 2009:208).
Pembangunan pusat pemerintahan kota yang baru masuk dalam rencana pembangunan Kota Malang yang dikenal dengan Bouwplan. Bouwplan yang dicanangkan ini terdiri dari delapan tahap. Pembangunan kawasan balaikota sebagai pusat pemerintahan Kota Malang masuk dalam tahapan atau Bouwplan II. Bouwplan atau rencana pembangunan Kota Malang tahap II ini diputuskan tanggal 26 April 1922 yang dikenal dengan Gouvernuer-Generaalbuurt. Namun pembangunan tahap II ini baru terealisasikan pada tahun 1922 (Handinoto & Soehargo, 1996:66).
Nama Thomas Karsten muncul sebagai perancang alun-alun bunder yang ketika zaman penjajahan Belanda bernama Coenplein, diambil dari nama gubernur Hindia Belanda pertama Jan Pieterzoen Coen (Widodo, 2006:258). Thomas Karsten merancang taman yang berada di depan kantor pemerintahan Kota Malang haruslah tetap menganut sistem tata kota di Jawa, namun dengan konsep yang disesuaikan dengan Eropa (Basundoro,2009:216). Maka yang terjadi adalah alun-alun bunder sebagai pusat aktifitas masyarakat Eropa.
Alun-alun bunder di malam hari
Desain coenplein atau yang dikenal dengan alun-alun bunder tetap dipertahankan sebagai pusat pemerintah hingga zaman Jepang. Namun pada masa kemerdekaan, alun-alun bunder mengalami perombakan. Perubahan yang terjadi adalah berdirinya tugu sebagai lambang kemerdekaan bangsa Indonesia. Tugu yang dinamakan sebagai tugu kemerdekaan ini dilakukan peletakan batu pertama pada tanggal 17 Agustus 1946, satu tahun setelah kemerdekaan Indonesia (Basundoro, 2009:216).
Pembangunan tugu kemerdekaan di alun-alun bunder terhenti akibat agresi militer Belanda. Aksi militer Belanda mulai merangsek masuk ke dalam Kota Malang pada tanggal 22 Juli 1947 (Kotapraja Malang 50 Tahun, 1964:18). Pada tanggal 23 Desember 1947, tugu kemerdekaan yang menjadi inspirasi perlawanan rakyat Malang dihancurkan oleh Belanda. Hancurnya tugu kemerdekaan merupakan penyulut kemarahan rakyat (Basundoro, 2009:220). Rakyat Malang tidak tinggal diam setelah tugu kemerdekaan mereka dibakar, para pemuda membalasnya dengan membakar seluruh fasilitas milik Belanda termasuk balaikota. Peristiwa yang dikenal dengan “Malang Bumi Hangus” terjadi pada tahun 1948 (Kotapraja Malang 50 tahun, 1964:19). Akibat peristiwa tersebut, kawasan alun-alun bunder mengalami rusak berat. Hingga tahun 1950, setelah keadaan republik kembali normal, pembangunan tugu kemerdekaan dilanjutkan dan diresmikan oleh presiden pertama Republik Indonesia yaitu Soekarno pada tanggal 30 Agustus 950 (Widodo, 2006:258).
Desain alun-alun bunder yang dirancang oleh Thomas Karsten tetap dipertahankan hingga tahun 1950, hanya air mancur yang ada diganti dengan tugu kemerdekaan. Bangunannya menggambarkan enam buah bambu runcing yang berdiri tegak dan terikat menjadi satu (Basundoro, 2009:224). Di dasar tugu terdapat relief yang menggambarkan perjuangan bangsa ini melawan penjajahan. Di sekitar tugu terdapat kolam yang ditumbuhi oleh bungai teratai. Kolam dan bunga teratai ini melambangkan keskralan tempat ini. Hal tersebut juga terdapat di bangunan suci masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Candi Singosari, Candi Jawi dan sebagainya.


REFRENSI:
  1. Basundoro. 2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya Malang Sejak Kolonial Hingga Kemerdekaan. Yogjakarta: Ombak
  2. Handinoto & Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial di Malang. Jogja: Andi.
  3. Kota Praja Malang 50 Tahun. 1964. Malang.
  4. Widodo, Dukut I. 2006. Malang Tempo Dulu. Dinas Pariwisata Malang.