Sabtu, 28 Desember 2013

KESENIAN BANTENGAN

Pertunjukan Bantengan saat acara Bersih desa
di desa Wonorejo Kecamatan Lawang
Bantengan merupakan kesenian yang memadukan antara pencak silat dengan pertunjukan menangkap banteng yang sedang mengamuk. Seperti halnya kesenian jaranan, bantengan juga diiringi oleh musik gamelan khas serta kental akan mistis. Pemain pemakai topeng bantengan (terdiri dari 2 orang) biasanya kemasukan roh setelah dibacakan mantra.

Melacak tempat lahir kesenian bantengan ini sangat susah, karena tidak ada catatan resmi dan bukti yang valid untuk ditelusuri. Namun diperkirakan kesenian ini ada sejak zaman kerajaan Singhasari. Salah satu bukti adalah relief pada Candi Singhasari. Meskipun ada perbedaan bentuk antara zaman Singhasari dengan zaman sekarang. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada tahun 1960-an, ketika zaman Orde Lama. Setiap perayaan kemerdekaan selalu diadakan pawai dan pertunjukan Bantengan beserta tarian Liang-liong, selamatan desa serta acara-acara rakyat seperti ulang tahun hari jadi kota. 

Namun kesenian bantengan ini mengalami penurunan peminat. Seakan mati suri, kemudian kesenian ini menjadi populer kembali pada saat ini (setelah reformasi). Seiring dengan pupoler kembali kesenian ini, saling klaim sebagai wilayah tempat kelahiran kesenian bantengan terjadi. Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto dengan Kota Batu menjadi dua daerah yang mengakui bahwa kesenian bantengan merupakan kesenian yang lahir dari wilayah mereka. Tidak ada catatan secara pasti kesenian dari mana kesenian ini lahir menjadi kelemahan untuk melacak asal-usul kesenian bantengan berasal. Terlepas dari manakah kesenian ini berasal, melahirkan sisi positif bahwa kini dikedua daerah tersebut melaksanakan upaya pelestarian dengan menggelar gebyar bantengan.

Kesenian bantengan ini berkembang pesat di daerah lereng gunung Arjuno, yaitu wilayah Kecamatan Lawang (Kab. Malang), Kota Batu, Kecamatan Pacet (Kab. Mojokerto) dan Lereng Semeru yaitu Kecamatan Tumpang (Malang) serta daerah pinggiran Kota Malang. Hampir setiap hajatan atau acara rakyat, bantengan hadir untuk menjadi hiburan yang seru.

Pemain Gamelan
Pemain bantengan terdiri dari 10 hingga 30 orang. Dalam suatu pementasan, pemain terbagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, pemain musik yaitu : penabuh gending atau Jidor atau musik gamelan (kendang, kenong dan Gong) serta sinden juga pengrawit. Kedua, pendekar yang mengendalikan banteng. Ketiga, sesepuh yang dituakan, mempunyai kelebihan untuk memanggil roh Dahyangan untuk masuk kedalam tubuh pemain banteng dan mengeluarkannya. Keempat, pendekar pemegang pecut yang bertugas untuk mengendalikan kendali kelompok dengan membawa campuk. Kelima, pemeran bantengan yang masing-masing banteng terdiri dari 2 orang.


Kostum bantengan biasanya terdiri dari tanduk (kepala sapi, kerbau, banteng dan lain-lain), topeng kepala banteng yang terbuat dari kayu dengan cat dan ukiran, mahkota banteng berupa sulur wayangan terbuat dari kulit atau kertas, kelontong (alat bunyi di leher), badan banteng terbuat dari rotan berbentuk rotan dan tertutup oleh kain hitam lengkap dengan ekornya. Biasanya kaki banteng merupakan kaki 2orang pemain yang memakai celana hitam.


Pendekar yang sedang menaklukan banteng
Rangkaian acara bantengan yang didokumentasikan dari acara bersih desa di Desa Wonorejo, Kecamatan Lawang. Pertama adalah dibuka dengan seorang sesepuh yang memiliki kemampuan untuk memanggil Dahyangan dengan membaca mantra-mantra. Kemudian dilanjutkan dengan 2 orang pendekar yang beradu ilmu. Selanjutnya, sang pemegang cambuk mulai menggoda banteng yang telah diperankan 2 orang yang telah kemasukan roh Dahyangan hingga banteng mengamuk. Setelah Banteng mengamuk, pendekar yang bertugas sebagai pawang berusaha menaklukkan banteng yang telah mengamuk. Ke dua pemeran banteng yang telas kemasukan roh kemudian disadarkan oleh sesepuh. Selanjutnya, dua orang pendekar menunjukkan atraksi berupa adu kekebalan.

Demikian ringkasan mengenai kebudayaan bantengan malang disalahsatu daerah ketika ada hajatan rakyat berupa bersih desa, semoga bermanfaat.




Senin, 21 Oktober 2013

MONUMEN TRIP: MENGENANG PERJUANGAN ANAK SEKOLAH MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN

Monumen TRIP di depan Gereja Ijen
Jalan Ijen sangat terkenal bagi mereka yang berkunjung ke Kota Malang. Jalan kembar yang berderet rumah mewah ini menjadi salah satu jantung Kota Malang. Jalan yang pada hari minggu pagi menjadi jalan bebas mobil dan motor ini, merupakan salah satu akses dari wilayah timur dan barat Malang.

Namun apakah ada yang tahu tentang monumen yang berada di depan gereja Katolik Ijen. Letaknya berada di ujung utara jalan kembar Ijen, tepatnya disisi barat. Monumen yang diberi nama monumen patung TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) berdiri tegak ditengah-tengah pertigaan antara Jalan Ijen dengan Jalan Pahlawan TRIP ini, menggambarkan perjuangan para pelajar yang masih berumur 14-18 tahun ketika turut mempertahankan kemerdekaan. Sebelah kiri monumen patung TRIP terdapat monumen makam pahlawan para pasukan TRIP yang gugur dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan pasukan Belanda pada agresi militer I.

Peristiwa agresi militer Belanda I terjadi pada tahun 1947. Ketika itu tentara Belanda yang telah berhasil menaklukkan Surabaya merangsek masuk kota malang melalui Kecamatan Lawang. Rakyat yang mendengar Belanda akan menyerang Malang tidak rela kotanya diduduki, maka rakyat "membumihanguskan" dengan membakar kota. Seluruh fasilitas dihancurkan dan dibakar, tak terkecuali Balaikota Malang. Pemerintahan pun sempat diboyong ke Kecamatan Bantur Kabupaten Malang, agar supaya selamat dan tetap melakukan tugasnya sebagai bagian dari Republik. Penduduk pun juga ikut mengungsi ke arah selatan Kota Malang dan Kabupaten Blitar.
Monumen Taman Makam TRIP di dekat  Jalan Salak (Sekarang Jalan Pahlawan TRIP)

Malang yang telah dibakar dan dikosongkan tak berarti pasukan Belanda bisa mendudukinya tanpa perlawanan dari rakyat. Perlawanan sengit terjadi sejak masuk sisi uatar Kabupaten Malang, tank-tank musuh dihadang dengan berbagai rintangan dan kemudian pasukan Belanda dihujani peluru oleh TNI dan laskar-laskar. Di dalam kota, pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) telah bersiaga menghadang pasukan Belanda. Pasukan TRIP yang telah berkumpul di Malang sejak Juli 1946 untuk mengikuti ujian kenaikan kelas bersiap mempertahankan Malang.

Sejak Juli 1946, para pelajar dan pasukan TRIP se- jawa Timur berkumpul di Malang untuk mengikuti ujian kenaikan kelas. Mereka kembali ke sekolah setelah mendapat tentangan berbagai pihak mengingat tugas pelajar adalah menuntut ilmu. Dilematis yang dialami oleh IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) antara tugas dan turut aktif mempertahankan kemerdekaan, memunculkan ide untuk menyelenggarakan kongres pelajar di Malang setelah ujian kenaikan kelas pada bulan Juli. Melalui perdebatan yang alot, akhirnya diputuskan pembentukan TRIP Jawa Timur yang tergabung dalam Brigade 17 yang dipimpin oleh Isman dan wakil komandan Moeljosoedjono.

Pasukan TRIP Jawa Timur mempunyai 5 Bataliyon yaitu Bataliyon 1000 berkeudukan di Mojokerto terdiri dari pelajar di Karesidenan Surabaya meliputi Mojokerto dan Jombang yang dipimpin oleh Gatot Koesoemo. Bataliyon 2000 berkedudukan di Madiun terdiri dari pelajar di Karesidenan Madiun dan Bojonegoro yang dipimpin oleh Surachman. Bataliyon 3000 di Kediri terdiri terdiri dari pelajar di Kediri, Tulungagung dan Blitar yang dipimpin oleh Sudarno. Bataliyon 4000 di Karesidenan Jember yang melliputi pelajar di Besuki, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi yang dipimpin oleh Mukarto. Bataliyon 5000 berkedudukan di Malang meliputi pelajar di Karesidenan Malang yang meliputi pelajar di Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang yang dipimpin oleh Susanto.

Makam satu lubang 34 dan pemimpin pasukan TRIP dan relief nama-nama
Setelah terbentuknya Brigade 17 pasukan TRIP Jawa Timur, keadaan Republik semakin genting. Belanda melangsungkan agresi militer I pada tahun 1947, dengan menyerang Malang yang memiliki nilai strategis sebagai pangkalan militer. Pertempuranpun terjadi ketika pasukan Belanda berhasil merangsek masuk ke dalam kota. Seluruh pasukan dari TNI dan laskar-laskar melakukan perlawanan yang sangat sengit, tak terkecuali pasukan TRIP.

Pasukan TRIP Bataliyon 5000 yang telah dibrifing oleh TNI untuk mempertahankan garis pertahanan di Malang, terlibat pertempuran di jalan Salak (sekarang jalan pasukan TRIP). Perlawanan tidak seimbang terjadi antara pasukan profesional Belanda dengan pasukan pelajar yang tergabung dalam TRIP. Walaupun begitu pasukan TRIP memberi perlawanan yang sangat sengit. Hingga akhirnya 34 tentara TRIP gugur dalam pertempuran tersebut. Komandan pasukan Bataliyon 5000, Susanto juga gugur terkena peluru di depan gereja Ijen ketika mengendarai motor.

Setelah pertempuran yang berlangsung selama 5 jam dengan kekuatan yang tak seimbang ini, pasukan yang gugur dimakamkan dalam satu lubang yang kini menjadi monumen taman makam pahlawanan. Monumen taman makam ini dilengkapi prasasti dan relife mengenai perjuangan pasukan TRIP beserta nama-nama korban. Monumen dan Taman makam ini diresmikan oleh presiden Soekarno.
Prasasti TRIP

Senin, 29 Juli 2013

LEGENDA COBAN RONDO


Berada di Desa Pandesari kecamatan Pujon Kabupaten Malang. Memiliki pesona alam yang menakjubkan untuk dinikmati ketika berkunjung ke Malang. Di lahan yang berluas sekitar 20 ha ini ditumbuhi oleh pohon pinus dan pepohonan khas hutan hujan basah. Suhu udara yang menyejukkan, karena terletak di lembahan dengan ketinggian sekitar 1200 mdpl enak untuk menyegarkan pikiran yang telah lelah bekerja selama berhari-hari.

Air terjun Coban rondo ini memiliki ketinggian 84 meter dengan debit air 90 liter hingga 150 liter, sehingga memiliki air yang cukup deras walaupun ketika musim kemarau. Namun hati-hati ketika curah hujan sedang tinggi karena dapat menyebabkan banjir bandang.

Air terjun yang bermata air di Cemoro Dudo ini memiliki kisah tersendiri dibalik penamaan air terjun yang sangat terkenal di Malang ini. Coban sendiri menurut warga Malang adalah air terjun, dan Rondo dalam bahasa Jawa berarti Janda. Penggambilan nama Janda yang lekat pada air terjun ini menyimpan kisah yang perlu di ketahui sebelum berkunjung ke sana.

Cerita legenda Coban rondo dimulai dari kisah asmara Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi dan Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Setelah pernikahan mereka mencapai 36 hari atau yang dalam bahasa jawa disebut selapan. Ketika itu Dewi Anjarwati mengajak Raden Baron Kusumo untuk berkunjung ke mertuanya di gunung Anjasmoro. Namun tentangan datang dari orang tua Dewi Anjarwati yang menentang mereka untuk berpergian jauh. Alasan yang diberikan adalah karena usia pernikahan mereka yang masih masuk masa selapan. Menurut tradisi Jawa, pasangan yang baru menikah tidak boleh berpergian jauh apabila usia pernikannya baru selapan. Namun keduanya bersikukuh untuk pergi dengan apapun resiko yang akan terjadi di perjalanan.

Ketika dalam perjalanan, mereka dikejutkan oleh kemunculan Joko Lelono yang tidak jelas asal-usulnya. Kehadiran Joko Lelono membuat keduanya gusar. Kegusaran keduanya disebabkan oleh sikap Joko Lelono yang terpesona oleh kecantikan Dewi Anjarwati dan berusaha merebutnya. Namun Raden Baron Kusumo tidak tinggal diam, untuk mempertahankan pernikahannya dengan Dewi Anjarwati maka Raden Baron Kusomo menantang Joko Lelono untuk bertanding adu kesaktian dan Joko Lelono pun menyanggupinya.

Sebelum pertandingan terjadi, Raden Baron Kusomo berpesan kepada para pembantunya untuk menyembunyikan Dewi Anjarwati di suatu tempat yang ada air terjunnya atau coban dalam bahasa Jawa. Perkelahian yang tak terelakkan lagi terjadi. perkelahian terjadi sangat seru, keduanya terlibat adu ilmu yang dimilikinya. Keduanya sama-sama kuat sehingga keduanya sama-sama gugur. Akibat pertarungan tersebut maka status Dewi Anjasmoro menjadi Janda atau Rondo dalam bahasa jawa. Sejak saat itulah coban tempat bersembunyinya Dewi Anjasmoro dinamakan dengan Coban Rondo hingga sekarang.

Konon batu besar di bawah air terjun merupakan tempat duduk sang puteri yang merenungi nasibnya.

Kamis, 06 Juni 2013

BEROLAHRAGA di CAR FREE DAY dan BERBELANJA di WISATA BELANJA TUGU

Minggu pagi waktunya olahraga, dijalan Ijen pusat Kota Malang menjadi kawasan pusat berkumpulnya warga Malang untuk menikmati lenggangnya jalan kembar Ijen. Berlakunya car free day menjadi tempat yang nyaman untuk berolahraga. Bukan hanya tempat jogging tetapi juga menjadi tempat berbagai komunitas untuk menampilkan kebolehan mereka.

Kawasan car free day yang diresmikan sejak tahun 2011 ini dilaksanakan di sepanjang Jalan Ijen. Kawasan dengan arsitektur kolonial ini memberikan nuansa yang berbeda setiap hari minggu pagi mulai pukul 06.00 hingga 09.30. Tidak hanya pejalan kaki ataupun pesepeda yang memanfaatkan momen ini, para pecinta reptil dan binatang langka, skateboard, fotografi serta berbagai komunitas juga memanfaatkan lenggangnya Jalan Ijen untuk berkumpul.

Kawasan car free day terhubung dengan Pasar Wisata Belanja Tugu, menjadikan kawasan ini selalu dipadati oleh warga Malang dan para wisatawan untuk berbelanja dan mencari oleh-oleh. Kawasan ini menjadi pusat aktivitas di hari minggu pagi. Terdapat panggung yang meskipun sederhana, namun menjadi sangat istimewa karena berbagai acara digelar untuk memeriahkan minggu pagi.




Keberadaan Pasar Wisata Belanja Tugu atau yang lebih dikenal Pasar Minggu (karena memang buka hanya setiap hari minggu pagi), lebih tua dari pada car free day menjadi semakin ramai ketika car free day diberlakukan. Di pasar wisata belanja tugu stan-stan menjual berbagai keperluan dari mulai pakaian, buku, pernak-pernik hingga tanaman hias dijual. Stan untuk makanan dan jajanan serta oleh-oleh juga tersedia disini.


Pasar Wisata Belanja Tugu membentang sepanjang Jalan Semeru ini dimulai dari depan pertigaan perpuskota hingga perempatan yang mempertemukan jl. Semeru dan jl. Bromo. Meskipun car free day sudah tidak berlaku di pukul 09.30, namun pasar wisata belanja tugu masih terus dipadati pengunjung hingga pukul 11.00.



Minggu, 26 Mei 2013

CANDI SUMBERAWAN DALAM BALUTAN TRI SUCI WAISAK

Terletak di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, dan Berjarak 6 km dari candi Singosari, candi Sumberawan memiliki arsitektur yang berbeda dari candi-candi yang lain di Jawa Timur. Candi yang memiliki bentuk stupa ini pertama kali ditemukan tahun 1940, dan di pugar pertama kali pada tahun 1937 oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut ahli purbakala, nama candi Sumberawan sesuai dengan kitab Negarakertagama bernama Kasurangganan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa candi Sumberawan diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke 14 hingga 15 Masehi, yaitu ketika zaman Majapahit.

Seperti halnya candi Borobudur yang terdapat stupa-stupa, candi Sumberawan juga digunakan umat Buddha sebagai tempat beribadah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tubuh candi Sumberawan tidak terdapat rongga yang biasanya berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang atau abu atau barang peninggalan para Arhat dan para Biksu, seperti pada fungsi Stupa. Penelitian yang dilakukan lebih lanjut menghubungkan letak candi Sumberawan yang berada dekat dengan mata air sebagai suatu kesatuan seperti pada candi Songgoriti. Maka disimpulkan kemudian bahwa candi Sumberawan pada zaman dahulu difungsikan sebagai asrama (Mandala) bagi para Arhat dan Biksu.

Telogo

Candi Sumberawan hingga saat ini masih berfungsi sebagai tempat beribadah umat Buddha di Malang Raya dan sekitarnya. Hal tersebut terlihat ketika Hari Tri Suci Waisak, umat Buddha dari berbagai daerah di Malang Raya mendatangi Candi Sumberawan untuk mengikuti acara Dharmasanti. Rangkaian upacara Darmasanti dilakukan untuk menyambut detik-detik Waisak yang merupakan turunnya wahyu kepada pangeran Sidharta Gautama


Acara dimulai dengan dilakukan prosesi Pradaksina, yaitu prosesi memutari candi seara jarum jam. Prosesi Pradaksina dilakukan dengan membawa lilin, bunga dan dupa dengan sikap tangan Anjali serta melantunka nyanyian "Aku Berlindung". Setelah Pradaksina, acara dilanjutkan dengan hening selama 20 menit untuk bersemedi. Acarapun berlanjut pada Penyalaan lilin yang dipandu oleh Biksu Sangha yang disertai dengan do'a Ghata Visaka Puja. Ritual Menyalakaan lilin ini merupakan lambang sang Buddha yang menerangi dunia. Prosesi kemudian diakhiri dengan ritual Puja Bakti menyambut puncak hari Waisak.

Senin, 25 Maret 2013

UPACARA JALANADI DHIPUJA DI BALEKAMBANG

Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai pantai Balekambang. Terletak di selatan Kabupaten Malang, memiliki pesona wisata yang menakjubkan. Pantai dengan pesona pura ditengah pulau ini biasa disandingkan dengan pantai Tanah Lot di Bali.

Pulau Ismoyo, merupakan salah satu diantara jejeran pulau yang terdapat pura di tengahnya bernama Luhur Amerta Jati. Dihubungkan dengan jembatan sekitar 1 meter, menyatukan dua daratan yang dipisahkan oleh air laut. Diresmikan oleh bapak Bupati Malang, Edi Slamet, pada tahun 1985, Pura Amerta Jati menjadi salah satu pesona wisata dan tempat ibadah umat beragama Hindu. Dengan mematuhi tata tertib memasuki tempat ibadah, traveller bisa berphoto di depan pintu pura dan di kawasan Pulau Ismoyo.

Keberadaan Pura Luhur Amerta Jati di pantai Balekambang tidak hanya mengundang daya tarik para wisatawan, namun juga sebagai tempat beribadah bagi umat Hindu dari berbagai daerah. Salah satu upacara yang dilaksanakan di Pura ini adalah upacara Melasti. Melasti juga disebut upacara Melis atau Mekilis, dimana umat Hindu melakukan sembahyang untuk mensucikan diri dari segala perbuatan buruk di masa lalu (Kotawisata.net).


Upacara dimulai pagi hari dengan mengarak benda-benda yang disakralkan. Benda-benda yang disakralkan dari dalam pura diarak ke tepi pantai untuk dikumpulkan dengan sesajen yang berisi bunga, daun, buah, air dan dupa. Sesajen akan di larung ke laut dengan tujuan sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi.


Dalam prosesi acara Jalani Dhipuja tersebut, dilangsungkan doa bersama di tepi pantai yang diberi tempat khusus dengan batas-batas yang tidak boleh dilewati oleh wisatawan.Diriingi oleh suara gamelan Bali, upacara dipimpin oleh Pendeta Agung. Seluruh sesajen yang akan dilarung ditaruh diatas panggung untuk dibacakan doa-doa.





Setelah dipanjatkan doa-doa, benda-benda yang disakralkan disucikan di laut beserta sesajen yang akan dilarung ke laut. Selesainya pensucian diri, umat Hindu secara perseorangan melakukan ibadah di dalam Pura Luhur Amerta Jati hingga tengah hari.






Rabu, 16 Januari 2013

KAWASAN KONSERVASI PULAU SEMPU

eksotisme pulau sempu sangat begitu mengundang decak kagum bagi para traveller. Pulau 877 hektar ini merupakan kawasan konservasi dibawah departemen kehutanan yang menyimpan banyak ragam flora dan fauna yang dilindungi.  terletak di antara 112° 40′ 45″ - 112° 42′ 45″ bujur timur dan 8° 27′ 24″ - 8° 24′ 54″ lintang selatan, pulau sempu berada di tengah-tengah samudra hindia dan masih masuk dalam kawasan Kabupaten Malang.


Pulau Sempu memiliki empat ekosistem yakni ekosistem hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem danau dan hutan tropis dataran rendah. Sesuai penelitian beberapa ahli, iklim kawasan pulau Sempu termasuk tipe C dengan curah hujan rata-rata 2.132 mm per tahun. Musim hujan umumnya terjadi pada bulan Oktober sampai April, sedangkan musim kemarau terjadi antara bulan Juli sampai September.
Di pulau Sempu terdapat lebih dari 223 jenis tumbuhan, dan 144 lebih jenis burung spesies baru dan mamalia dan hewan langka lainnya. Malah, di pulau itu masih ada macan Tutul serta 20 spesies Macan Kumbang. Penjaga pulau dari BKSDA menyebut, binatang buas itu sering tampak di sekitar Telaga Lele dan Teluk Semut.

Untuk menuju ke Pulau Sempu, akses yang dilakukan adalah menuju pantai Sendang Biru terlebih dahulu. Pantai Sendang Biru berjarak sekitar 69 km dari kota Malang dan 150 km dari ibu kota Provinsi Jawa Timur yaitu Surabaya. Pantai Sendang Biru dapat di tempuh dengan perjalanan darat dari Kota Malang. Terdapat dua jalur untuk menuju wilayah Pantai Sendang Biru yaitu,
- Malang-Gadang-Bululawang-Turen-Sumbermanjing Wetan-Sendang Biru
- Malang-Kepanjen-Gondang Legi-Turen-Sumbermanjing Wetan-Sendang Biru

setelah sampai di pantai Sendang Biru, pengunjung akan dikenakan biaya masuk kawasan pantai Sendang biru sebesar Rp. 6.000. Kemudian pengunjung harus mengurus perizinan masuk kawasan konservasi terlebih dahulu yang berada di dalam kawasan pantai Sendang Biru. Untuk pembayaran masuk kawasan konservasi pulau Sempu tidak ada patokan harga pasti, kisaran harga antara Rp. 20.000-Rp. 50.000. Setelah izin didapat, kemudian pengunjung mencari perahu yang akan mengantarkan menyebrang ke Pulau Sempu. Perahu sudah berada di dalam kawasan pantai Sendang Biru. Biaya perahu dikenakan sebesar Rp. 100.000 untuk pulang-pergi.

track Lumpur ketik musim hujan

Ada beberapa tempat yang dapat menjadi tujuan traveller di kawasan Pulau Sempu, yaitu: pantai pasir panjang, segoro lele, segoro anakan. Segoro anakan merupakan maskot kawasan konservasi Pulau Sempu. segoro anakan menjadi kawasan yang paling banyak dikunjungi orang. Perahu akan turun di Teluk Semut, kemudian dilanjutkan perjalanan dengan jalan setapak menuju segoro anakan. Perjalanan dari teluk semut menuju segoro anakan jika musim kemarau memakan waktu sekitar 1-2 jam perjalanan. jika musim penghujan perjalanan dapat dilakakukan sekitar 3-4 jam perjalanan. hal tersebut terjadi dikarenakan kondisi jalan ketika musim penghujan akan menjadi becek dan berlumpur.


Segoro anakan
Disebelah Segoro anakan, terdapat pantai kecil cukup panjang yang berada menghadap langsung ke Samudra Hindia. patai tersebut adalah pantai kembar dan pantai pasir panjang. jalur menuju kedua pantai tersebut terdapat di pertigaan sebelum pengunjung sampai di Segoro anakan. untuk letak segoro lele agak lumayan jauh. namun ketika musim kemarau air danau segoro lele akan mengering.

jika pengunjung melakukan perjalanan di musim penghujan disarankan untuk memakai sepatu bot atau sepatu futsal dengan gerigi di bawahnya karena medan licin dan berlumpur. selamat mencoba dan menikmati kunjungan anda.