Minggu, 26 Mei 2013

CANDI SUMBERAWAN DALAM BALUTAN TRI SUCI WAISAK

Terletak di Desa Toyomarto, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, dan Berjarak 6 km dari candi Singosari, candi Sumberawan memiliki arsitektur yang berbeda dari candi-candi yang lain di Jawa Timur. Candi yang memiliki bentuk stupa ini pertama kali ditemukan tahun 1940, dan di pugar pertama kali pada tahun 1937 oleh pemerintah Hindia Belanda. Menurut ahli purbakala, nama candi Sumberawan sesuai dengan kitab Negarakertagama bernama Kasurangganan. Hasil penelitian yang telah dilakukan menyimpulkan bahwa candi Sumberawan diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke 14 hingga 15 Masehi, yaitu ketika zaman Majapahit.

Seperti halnya candi Borobudur yang terdapat stupa-stupa, candi Sumberawan juga digunakan umat Buddha sebagai tempat beribadah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada tubuh candi Sumberawan tidak terdapat rongga yang biasanya berfungsi sebagai tempat menyimpan tulang belulang atau abu atau barang peninggalan para Arhat dan para Biksu, seperti pada fungsi Stupa. Penelitian yang dilakukan lebih lanjut menghubungkan letak candi Sumberawan yang berada dekat dengan mata air sebagai suatu kesatuan seperti pada candi Songgoriti. Maka disimpulkan kemudian bahwa candi Sumberawan pada zaman dahulu difungsikan sebagai asrama (Mandala) bagi para Arhat dan Biksu.

Telogo

Candi Sumberawan hingga saat ini masih berfungsi sebagai tempat beribadah umat Buddha di Malang Raya dan sekitarnya. Hal tersebut terlihat ketika Hari Tri Suci Waisak, umat Buddha dari berbagai daerah di Malang Raya mendatangi Candi Sumberawan untuk mengikuti acara Dharmasanti. Rangkaian upacara Darmasanti dilakukan untuk menyambut detik-detik Waisak yang merupakan turunnya wahyu kepada pangeran Sidharta Gautama


Acara dimulai dengan dilakukan prosesi Pradaksina, yaitu prosesi memutari candi seara jarum jam. Prosesi Pradaksina dilakukan dengan membawa lilin, bunga dan dupa dengan sikap tangan Anjali serta melantunka nyanyian "Aku Berlindung". Setelah Pradaksina, acara dilanjutkan dengan hening selama 20 menit untuk bersemedi. Acarapun berlanjut pada Penyalaan lilin yang dipandu oleh Biksu Sangha yang disertai dengan do'a Ghata Visaka Puja. Ritual Menyalakaan lilin ini merupakan lambang sang Buddha yang menerangi dunia. Prosesi kemudian diakhiri dengan ritual Puja Bakti menyambut puncak hari Waisak.