Rabu, 23 Juli 2014

TARI TOPENG MALANG YANG MULAI TERGERUS ZAMAN

Malang merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki cukup banyak warisan sejarah, salah satunya adalah kesenian sendra tari wayang topeng. Seperti halnya di daerah lain, wayang topeng malangan merupakan pertunjukan sendra tari dengan pelaku-pelaku bertopeng dan diiringi oleh gamelan. Dalam pertunjukannya sebagian besar bercerita tentang Panji. Murgiyanto & Munardi (1979/1980:16) menyatakan bahwa wayang topeng Malang menunjukkan ciri-ciri sub kultur Jawa Timuran. Dari gaya tari, dialog, tata busana, gending-gending pengiring dan bahkan dalam embat gamelan pelognya yang berlaras “sendaren” atau “sundari”. Murgiyanto (1982/1983:54) juga menjelaskan bahwa di daerah Malang dan Madura, wayang topeng memiliki penutup kepala (irah-irahan) yang dibuat mirip busana kepala wayang wong Jawa, sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Barat penari topeng mengenakan tekes atau sobrah, yaitu busana kepala khas topeng yang terbuat dari rambut berbentuk pipih melintang di bagian atasnya dengan hiasan untaian bunga panjang yang tergantung di bagian kiri dan kanan di atas telinga.
Adapun yang pembeda yang sekaligus menjadi ciri khas sebagai wayang topeng Malangan adalah pada embrio atau awal munculnya kesenian ini. Berdasarkan penuturan Ki Soleh Adi Pramono seorang seniman wayang topeng pada Padepokan Mangun Dharma di Tumpang, menyebutkan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman kerajaan Kanjuruhan di bawah Raja Gajayana (760 M) di Malang. Topeng awalnya merupakan simbol atau pemujaan raja Gajayana terhadap arwah ayahandanya, Dewa Simha. Berawal dari upacara pemujaan arwah yang bersifat magis-religius ini, kemudian berkembang menjadi kesenian rakyat. Pada masa kepemimpinan Wisnuwardhana di Singhasari, topeng digunakan pada drama tari wayang wwang dengan menampilkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Namun, terjadi perubahan ketika masa Kertanegara (1190-1214 Saka atau 1268-1298 M) yang ingin mengangkat kisah-kisah dari leluhur kerajaan di Jawa Timur sendiri, hingga tercipta lakon Panji pada pertunjukan wayang topeng dan dikenal hingga ke luar nusantara. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada masa Majapahit, serta masa penyebaran Islam oleh para wali.
Pada masa-masa kerajaan, kesenian wayang topeng hanya berperan sebagai kesenian yang dikhususkan bagi kalangan kerajaan saja. perkembangannya kesenian ini menjadi kesenian tradisional rakyat. Meredupnya peran keraton dalam masyarakat yang digantikan sistem penjajahan Belanda, menyebabkan terjadinya perubahan pada tatanan masyarakat, termasuk hidup matinya kesenian tradisional yang dikembangkan oleh keraton. Dalam perkembangan selanjutnya, kesenian ini kemudian dikembangkan kembali oleh tokoh bernama Mbah Reni dari Polowijen. Melalui Mbah Reni dan murid-murid inilah kemudian kesenian wayang topeng mulai menyebar ke berbagai wilayah di bagian timur seperti Jabung dan Tumpang, serta bagian selatan seperti Kedungmonggo dan Sumberpucung. Hal tersebut terdapat dalam data warisan budaya tak benda kabupaten Malang tahun 2010.
Tari Topeng Malangan berkembang pesat pada era 1950-1960. Kebijakan pemerintah yang menekan arus masuk budaya barat, membuat kesenian tradisional muncul dan bersinar. Itensitas pertunjukan dan antusias masyarakat dalam pertunjukan semakin meningkat. Pasca peristiwa 30 September 1965, Tari Topeng Malangan mengalami periode meredup. Peristiwa poitik yang mendera negeri sedikit banyak juga mempengaruhi keberlangsungan Tari Topeng Malangan selain kondisi keuangan yang naik turun. . Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan di Kedungmonggo, Jabung, dan daerah Tumpang yang masih bertahan.
Secara umum di era tahun 1970an, hampir semua kesenian wayang topeng Malangan mengalami perkembangan yang baik. Hal ini bisa dilihat dari keikutsertaan wayang topeng Malangan dalam berbagai festival kesenian yang diadakan dalam rangka mengembangkan kembali kesenian yang meredup di era sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, kesenian wayang topeng Malangan mendapat perhatian besar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. Pada peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-27 tahun 1972, menampilkan kesenian wayang topeng Malangan. Di Malang pada tahun 1975, Bupati Suwignyo membuka peluang tari massal topeng Malang yang diikuti oleh 500 siswa Malang. Hal ini pula yang kemudian meningkatkan dukungan pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya melestarikan kesenian yang ada. Adapun di tahun 1978, wayang topeng Malangan diikutkan dalam festival kesenian nasional di Jakarta dan Yogyakarta. Salah satu bentuk perhatian pemerintah adalah dengan memperbaiki atau membangun sarana dan prasarana dalam menyokong kelestarian kesenian wayang topeng Malangan. Pembangunan sarana dan prasarana di antaranya adalah pembangunan Padepokan Asmoro Bangun di Kedungmonggo, kecamatan Pakisaji pada tahun 1982. 

Daftar Pustaka:
Disbudpar Kabupaten Malang. 2010. Data Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten MaLang tahun 2010. Malang : Disbudpar. 
Kotamadya Malang. 1969. Kotamadya Malang Lima Puluh Tahun. Malang : Panitia Peringatan HUT ke 55 Kotamadya Malang.
Kusmayanti, A. M. H, dkk. 2002. Indonesia Heritage : Seni Pertunjukan. Jakarta :
Murgiyanto, S.M. 1982/1983. Pewarisan dan Pembinaan Kebudayaan Indonesia. Majalah Analisis Kebudayaan, III (2):52-62.
Murgiyanto, S.M & Munardi, A. M. 1979/1980. Topeng Malang : Pertunjukan Dramatari Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta : Proyek Sasana Budaya Depdikbud.


*) Disunting dari artikel: Wayang Topeng Malangan Era Tahun 1959-1978 oleh "Woro Windarti"