Malang merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang
memiliki cukup banyak warisan sejarah, salah satunya adalah kesenian sendra tari wayang topeng. Seperti halnya di
daerah lain, wayang topeng malangan merupakan pertunjukan sendra tari dengan
pelaku-pelaku bertopeng dan diiringi oleh gamelan. Dalam pertunjukannya
sebagian besar bercerita tentang Panji. Murgiyanto & Munardi
(1979/1980:16) menyatakan bahwa wayang topeng Malang menunjukkan ciri-ciri sub
kultur Jawa Timuran. Dari gaya tari, dialog, tata busana, gending-gending
pengiring dan bahkan dalam embat
gamelan pelognya yang berlaras “sendaren” atau “sundari”. Murgiyanto (1982/1983:54) juga menjelaskan bahwa di daerah
Malang dan Madura, wayang topeng memiliki penutup kepala (irah-irahan) yang dibuat mirip busana kepala wayang wong Jawa,
sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Barat penari topeng mengenakan tekes atau sobrah, yaitu busana kepala khas topeng yang terbuat dari rambut
berbentuk pipih melintang di bagian atasnya dengan hiasan untaian bunga panjang
yang tergantung di bagian kiri dan kanan di atas telinga.
Adapun yang pembeda yang sekaligus menjadi ciri khas sebagai wayang
topeng Malangan adalah pada embrio atau awal munculnya kesenian ini. Berdasarkan penuturan Ki
Soleh Adi Pramono seorang seniman
wayang topeng pada Padepokan Mangun Dharma di Tumpang, menyebutkan bahwa topeng telah dikenal sejak zaman kerajaan Kanjuruhan di bawah Raja Gajayana
(760 M) di Malang. Topeng awalnya merupakan simbol atau pemujaan raja Gajayana terhadap arwah
ayahandanya, Dewa Simha. Berawal dari
upacara pemujaan arwah yang bersifat magis-religius ini, kemudian berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pada masa kepemimpinan Wisnuwardhana di Singhasari,
topeng digunakan pada drama tari wayang wwang
dengan menampilkan cerita Ramayana dan Mahabarata. Namun, terjadi perubahan
ketika masa Kertanegara (1190-1214 Saka atau 1268-1298
M) yang ingin mengangkat kisah-kisah
dari leluhur kerajaan di Jawa Timur sendiri, hingga tercipta lakon Panji pada
pertunjukan wayang topeng dan dikenal hingga ke luar nusantara. Kesenian ini kemudian berkembang pesat pada masa Majapahit, serta
masa penyebaran Islam oleh para wali.
Pada masa-masa kerajaan, kesenian wayang topeng hanya
berperan sebagai kesenian yang dikhususkan bagi kalangan kerajaan saja. perkembangannya
kesenian ini menjadi kesenian tradisional rakyat. Meredupnya peran keraton
dalam masyarakat yang digantikan sistem penjajahan Belanda, menyebabkan
terjadinya perubahan pada tatanan masyarakat, termasuk hidup matinya kesenian
tradisional yang dikembangkan oleh keraton. Dalam perkembangan selanjutnya,
kesenian ini kemudian dikembangkan kembali oleh tokoh bernama Mbah Reni dari
Polowijen. Melalui Mbah Reni dan murid-murid inilah kemudian kesenian wayang
topeng mulai menyebar ke berbagai wilayah di bagian timur seperti Jabung dan
Tumpang, serta bagian selatan seperti Kedungmonggo dan Sumberpucung. Hal tersebut terdapat dalam data warisan budaya tak benda kabupaten Malang tahun 2010.
Tari Topeng Malangan berkembang pesat pada era 1950-1960. Kebijakan pemerintah yang menekan arus masuk budaya barat, membuat kesenian tradisional muncul dan bersinar. Itensitas pertunjukan dan antusias masyarakat dalam pertunjukan semakin meningkat. Pasca peristiwa 30 September 1965, Tari Topeng Malangan mengalami periode meredup. Peristiwa poitik yang mendera negeri sedikit banyak juga mempengaruhi keberlangsungan Tari Topeng Malangan selain kondisi keuangan yang naik turun. . Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan di Kedungmonggo, Jabung, dan daerah Tumpang yang masih bertahan.
Tari Topeng Malangan berkembang pesat pada era 1950-1960. Kebijakan pemerintah yang menekan arus masuk budaya barat, membuat kesenian tradisional muncul dan bersinar. Itensitas pertunjukan dan antusias masyarakat dalam pertunjukan semakin meningkat. Pasca peristiwa 30 September 1965, Tari Topeng Malangan mengalami periode meredup. Peristiwa poitik yang mendera negeri sedikit banyak juga mempengaruhi keberlangsungan Tari Topeng Malangan selain kondisi keuangan yang naik turun. . Dalam perkembangan selanjutnya, perkumpulan di Kedungmonggo, Jabung, dan daerah Tumpang yang masih bertahan.
Secara umum di era tahun 1970an, hampir semua kesenian
wayang topeng Malangan mengalami perkembangan yang baik. Hal ini bisa dilihat
dari keikutsertaan wayang topeng Malangan dalam berbagai festival kesenian yang
diadakan dalam rangka mengembangkan kembali kesenian yang meredup di era
sebelumnya. Dalam perkembangan lebih lanjut, kesenian wayang topeng Malangan
mendapat perhatian besar oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Malang. Pada
peringatan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-27 tahun 1972, menampilkan
kesenian wayang topeng Malangan. Di Malang pada tahun 1975, Bupati Suwignyo membuka peluang tari
massal topeng Malang yang diikuti oleh 500 siswa Malang. Hal ini pula yang
kemudian meningkatkan dukungan pemerintah pusat maupun daerah dalam upaya
melestarikan kesenian yang ada. Adapun
di tahun 1978, wayang topeng Malangan diikutkan dalam festival kesenian
nasional di Jakarta dan Yogyakarta. Salah satu bentuk
perhatian pemerintah adalah dengan memperbaiki atau membangun sarana dan
prasarana dalam menyokong kelestarian kesenian wayang topeng Malangan.
Pembangunan sarana dan prasarana di antaranya adalah pembangunan Padepokan
Asmoro Bangun di Kedungmonggo, kecamatan Pakisaji pada tahun 1982.
Daftar Pustaka:
Disbudpar Kabupaten Malang. 2010. Data Warisan Budaya Tak Benda Kabupaten
MaLang tahun 2010. Malang : Disbudpar.
Kotamadya Malang. 1969. Kotamadya Malang Lima Puluh Tahun.
Malang : Panitia Peringatan HUT ke 55 Kotamadya Malang.
Kusmayanti, A. M. H, dkk.
2002. Indonesia Heritage : Seni
Pertunjukan. Jakarta :
Murgiyanto, S.M. 1982/1983. Pewarisan dan
Pembinaan Kebudayaan Indonesia. Majalah
Analisis Kebudayaan, III (2):52-62.
Murgiyanto, S.M & Munardi, A. M. 1979/1980. Topeng Malang : Pertunjukan Dramatari
Tradisional di Daerah Kabupaten Malang. Jakarta : Proyek Sasana Budaya
Depdikbud.
*) Disunting dari artikel: Wayang Topeng Malangan Era Tahun 1959-1978 oleh "Woro Windarti"