Siapa
tak tahu alun-alun Tugu atau alun-alun bunder ketika mengunjungi Kota Malang
yang letaknya tak jauh dari stasiun kota baru Malang. Alun-alun dengan sebuah
tugu ditengahnya sebagai simbol kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan pusat
pemerintahan Kota Malang, dimana di sisi selatan terdapat kantor Balaikota.
Keberadaan alun-alun bunder membuat Kota Malang memiliki dua alun-alun
disamping alun-alun lama yang berada dikawasan pendopo Kabupaten Malang.
Malang
merupakan satu-satunya kota di Jawa yang memiliki dua alun-alun sebagai tempat
berkumpul masyarakat. Setiap kota di Pulau Jawa memiliki alun-alun sebagai
pusat beraktifitas masyarakat, termasuk kantor pemerintahan. Hal tersebut
merupakan ciri dari kota tradisional di Jawa. Begitu juga dengan Malang sebelum
menjadi kotapraja, Malang memiliki satu alun-alun yang sekarang berada di depan kantor Bupati Malang.
Pada
abad 18, Malang masih merupakan kawasan pedalaman Jawa. Seiring berjalan waktu dan semakin padatnya daerah pesisir, kemudian banyak Bangsa Belanda yang berdatangan menuju Malang dan mendirikan pemukiman. Kondisi geografis Malang yang dikelilingi pegunungan dan memiliki udara sejuk menjadikan kawasan yang enak untuk ditempati. Banyaknya Bangsa Belanda yang berdatangan, sehingga kemudian menuntut
kepada pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan status Malang menjadi kotapraja.
Sehingga pada 1 April 1914, surat ketetapan Gubernur Hindia Belanda keluar yang
mengubah status Malang menjadi Gemeente (kotapraja)
(Handinoto & Soehargo, 1996:1).
Status
kotapraja yang disandang Malang, tidak membuat Malang langsung memiliki
walikota. Namun untuk sementara, walikota dijabat oleh residen Malang. Tahun
1919 Kota Malang baru memiliki walikota yang dilantik tanggal 1 Juli. Nama
walikota pertama Malang adalah H.I. Bussemaker yang menjabat sejak tahun
1919-1929 (Handinoto & Soehargo, 1996:66). Seiring dengan meningkatnya
status Malang menjadi kotapraja, maka dibutuhkan kantor pemerintahan baru. Bangsa
Belanda yang menduduki kursi pemerintahan menuntut di bangunnya pusat
pemerintah Kota Malang yang baru, tidak menjadi satu di kawasan alun-alun yang
lama. Bangsa Belanda memandang alun-alun lama merupakan simbol dari Bumiputra.
Alun-alun yang lama sebagai pusat aktifitas masyarakat dianggap kumuh dan tak
beraturan. Bangsa Belanda menuntut terbentuknya pusat pemerintaha baru sebagai
pusat kegiatan orang Eropa, bukan sebagai pusat kegiatan orang Bumiputra
(Basundoro, 2009:208).
Pembangunan
pusat pemerintahan kota yang baru masuk dalam rencana pembangunan Kota Malang
yang dikenal dengan Bouwplan. Bouwplan yang dicanangkan ini terdiri
dari delapan tahap. Pembangunan kawasan balaikota sebagai pusat pemerintahan
Kota Malang masuk dalam tahapan atau Bouwplan
II. Bouwplan atau rencana
pembangunan Kota Malang tahap II ini diputuskan tanggal 26 April 1922 yang
dikenal dengan Gouvernuer-Generaalbuurt.
Namun pembangunan tahap II ini baru terealisasikan pada tahun 1922 (Handinoto
& Soehargo, 1996:66).
Nama
Thomas Karsten muncul sebagai perancang alun-alun bunder yang ketika zaman
penjajahan Belanda bernama Coenplein, diambil dari nama gubernur Hindia Belanda
pertama Jan Pieterzoen Coen (Widodo, 2006:258). Thomas Karsten merancang taman
yang berada di depan kantor pemerintahan Kota Malang haruslah tetap menganut
sistem tata kota di Jawa, namun dengan konsep yang disesuaikan dengan Eropa
(Basundoro,2009:216). Maka yang terjadi adalah alun-alun bunder sebagai pusat
aktifitas masyarakat Eropa.
Alun-alun bunder di malam hari |
Pembangunan
tugu kemerdekaan di alun-alun bunder terhenti akibat agresi militer Belanda.
Aksi militer Belanda mulai merangsek masuk ke dalam Kota Malang pada tanggal 22
Juli 1947 (Kotapraja Malang 50 Tahun, 1964:18). Pada tanggal 23 Desember 1947,
tugu kemerdekaan yang menjadi inspirasi perlawanan rakyat Malang dihancurkan
oleh Belanda. Hancurnya tugu kemerdekaan merupakan penyulut kemarahan rakyat (Basundoro, 2009:220).
Rakyat Malang tidak tinggal diam setelah tugu kemerdekaan mereka dibakar, para
pemuda membalasnya dengan membakar seluruh fasilitas milik Belanda termasuk
balaikota. Peristiwa yang dikenal dengan “Malang Bumi Hangus” terjadi pada
tahun 1948 (Kotapraja Malang 50 tahun, 1964:19). Akibat peristiwa tersebut,
kawasan alun-alun bunder mengalami rusak berat. Hingga tahun 1950, setelah
keadaan republik kembali normal, pembangunan tugu kemerdekaan dilanjutkan dan
diresmikan oleh presiden pertama Republik Indonesia yaitu Soekarno pada tanggal
30 Agustus 950 (Widodo, 2006:258).
Desain
alun-alun bunder yang dirancang oleh Thomas Karsten tetap dipertahankan hingga
tahun 1950, hanya air mancur yang ada diganti dengan tugu kemerdekaan.
Bangunannya menggambarkan enam buah bambu runcing yang berdiri tegak dan
terikat menjadi satu (Basundoro, 2009:224). Di dasar tugu terdapat relief yang menggambarkan perjuangan bangsa ini melawan penjajahan. Di sekitar tugu terdapat kolam yang ditumbuhi oleh bungai teratai. Kolam dan bunga teratai ini melambangkan keskralan tempat ini. Hal tersebut juga terdapat di bangunan suci masa kerajaan Hindu-Buddha di Jawa, seperti Candi Singosari, Candi Jawi dan sebagainya.
REFRENSI:
- Basundoro.
2009. Dua Kota Tiga Zaman Surabaya Malang Sejak Kolonial Hingga
Kemerdekaan. Yogjakarta: Ombak
- Handinoto
& Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan
Kota dan Arsitektur Kolonial di Malang. Jogja: Andi.
- Kota Praja Malang
50 Tahun. 1964. Malang.
- Widodo,
Dukut I. 2006. Malang Tempo Dulu.
Dinas Pariwisata Malang.
Udah pernah kesini :) subhanallah malang dingin , ketagihan lagi berkunjung ke kota apel ini :)
BalasHapushehehehe iya kak.. kpn terakhir mengunjung Malang kak?
HapusSejarah hotel tugu malang dong min
BalasHapussiap kakak. ditunggu aja terbitan selanjutnya.. : )
Hapusakan segera dikumpulkan data untuk requestnya..
buat tugas kah?